Makalah
Pendidikan Pancasila
Politeknik
Gunakarya Indonesia
Nama : Patrick Aurora
Jurusan : Teknik Komputer
Dosen : Robinson
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kata paradigma (Inggris: paradigm)
mengandung arti model, pola atau contoh. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
paradigma diartikan seperangkat unsur bahasa yang sebagian bersifat konstan
(tetap) dan sebagian berubah-ubah. Paradigma juga dapat diartikan suatu
gugusan sistem pemikiran. Menurut Thomas S. Kuhn, paradigma adalah asumsi-asumsi
teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), yang merupakan sumber hukum,
metode serta cara penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan
sifat, ciri dan karakter ilmu pengetahuan tersebut.
Sedangkan kata pembangunan (Inggris:
development) menunjukkan adanya pertumbuhan, perluasan ekspansi
yang bertalian dengan keadaan yang harus digali dan yang harus dibangun agar
dicapai kemajuan di masa yang akan datang. Pembangunan tidak hanya bersifat
kuantitatif tetapi juga kualitatif (manusia seutuhnya). Di dalamnya terdapat
proses perubahan yang terus menerus menuju kemajuan dan perbaikan ke arah
tujuan yang dicita-citakan. Dengan demikian, kata pembangunan mengandung
pemahaman akan adanya penalaran dan pandangan yang logis, dinamis dan
optimistis.
Sejak tanggal 18 Agustus 1945,
bangsa Indonesia telah sepakat bulat untuk menerima Pancasila sebagai dasar
Negara sebagai perwujudan falsafah hidup bangsa dan sekaligus ideologi
nasional. Sejak Negara Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus
1945 hingga kapan pun selama kita masih menjadi warga Negara Indonesia maka
kesetiaan (loyalitas) terhadap Ideologi Pancasila dituntut dalam bentuk sikap,
tingkah laku, dan perbuatan yang nyata dan terukur. Inilah sesungguhnya wujud
tanggung jawab seorang warga negara sebagai konsekuensi logis dari sikap bangga
dan mencintai Ideologi Negaranya (Pancasila) yang benar-benar telah menghayati,
mengamalkan dan mengamankannya dari derasnya sistem-sistem Ideologi
Bangsa/Negara-negara modern dewasa ini.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa
tujuan Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut,
dilaksanakanlah pembangunan. Karena pembangunan diarahkan untuk mencapai tujuan
Negara, maka dasar Negara harus menjadi paradigma pembangunan. Arah pembangunan
dan pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dari dasar Negara. Begitu pula
pembangunan tidak hanya diarahkan untuk mencapai kemajuan yang bersifat fisik,
melainkan pula menyangkut peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas secara
jasmani dan rohani.
Berdasarkan konseptualisasi
paradigma pembangunan tersebut diatas, maka unsur manusia dalam pembangunan
sangatlah penting dan sentral. Karena manusia adalah pelaku dan sekaligus
tujuan dari pembangunan itu sendiri. Oleh sebab itu, jika pelaksanaan
pembangunan di tangan orang yang sarat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan
tidak bertanggung jawab, maka segala modal, pikiran, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diterapkan dapat membahayakan sekaligus merugikan manusia,
masyarakat, dan Negara.
Garut, adalah salah satu kota di
Provinsi Jawa Barat, yang memiliki potensi cukup besar, dalam peningkatan
kualitas sumber daya manusianya dan dalam penuntasan rencana pembangunan.
Seiring dengan pergantian Kepala Pemerintahan (Bupati) dari satu periode, ke
periode yang selanjutnya. Garut telah mengalami banyak sekali perubahan dari
tahun ke tahun seiring dengan perjalanannya dalam rencana dan perealisasian
pembangunan Indonesia. Garut, yang dulunya, dipandang sebelah mata, sekarang
telah menduduki tempat yang dirasa berpotensial untuk menjadikan Garut sebagai
kota yang besar, dalam artian, terbilang sukses dalam penataan dan pembangunan
daerah dan sumber dayanya. Garut, kini, menjadi bagian yang tak terpisahkan
lagi, dalam berbagai event-event yang ada, dan menjadi pusat perhatian seluruh
komponen negeri ini.
Menjadi kota yang besar, dan pusat
perhatian seluruh negeri, agaknya telah banyak membuat kota Garut menjadi
terlena, kita seakan-akan telah melupakan bagian-bagian penting dari pembangunan,
perhatian kita, sedikit demi sedikit, telah banyak terfokus ke hal-hal yang
dipandang kurang ngeh dalam suatu tatanan pemerintahan. Masalah pendidikan, dan
hal-hal seperti penertiban administrasi pemerintahan, kini, kadang kala
terbengkalai, seiring dengan pamor Garut sebagai kota yang banyak menelurkan
artis-artis Ibukota. Memang hal ini, tidak sepenuhnya salah, kita memang
menjadi terkenal dan dikenal oleh negeri ini, sebagai kota yang berprestasi,
tentunya. Namun, apakah kita ingin dikenal oleh negeri ini sebagai kota yang
hanya maju dan berprestasi dalam hal hiburannya saja. Jawabannya, tentu tidak,
ini bukan hal yang kita harapkan. Maka dari itu, sudah selayaknya dan memang
seharusnya dilakukan oleh para pemegang kekuasaan di kota Intan ini, untuk kembali
menata kembali dan membuat lagi strategi pembangunan yang tepat untuk kota ini.
Hari ini, yang kita butuhkan, adalah
sumber daya manusia yang sanggup, mau dan mampu membawa kota ini menuju
kegemilangannya, menuju puncak kejayaannya, tentunya, dalam berbagai hal,
seperti pendidikan dan kebudayaan daerahnya. Pendidikan, adalah komponen yang
paling penting dari banyak garapan dalam tatanan suatu bentuk pemerintahan yang
ada. Karena, dari pendidikanlah, kita bisa tahu, apakah kota ini, telah
benar-benar sukses atau tidak, dalam pelaksanaan tujuan pembangunan negeri kita
ini, ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.
Build the diamond city / membangun
kota Intan. Tidak bisa dilakukan dengan mudah, dan tidak bisa dilakukan secara
instant. Kita membutuhkan banyak sekali tenaga, pikiran dan proses yang memakan
waktu yang cukup lama. Kita membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dan untuk mencapai semua itu, kita mesti dan harus, terlebih dahulu, memajukan
sistem dan pelaksanaan pendidikan yang kita punyai menjadi lebih baik dan lebih
‘bersih’ lagi, tanpa ada tindakan-tindakan yang tidak kita harapkan terjadi
pada proses pelaksanaan dari sistem-sistem pendidikan kita. Pelaksanaan
pendidikan akan berjalan lebih baik lagi, apabila semua pihak yang ada di kota
ini, mulai para guru, dan seluruh siswa/murid ataupun santri sekalipun
sama-sama ikut serta menyukseskan rencana-rencana pembangunan kota ini, mulai
dari jenjang dan garapan pemerintahan kita dalam pendidikan. Semua itu akan
terjadi, sekali lagi, asalkan seluruh komponen masyarakat yang ada di kota
Intan ini, di kota Garut ini, secara sungguh-sungguh berjuang untuk
mempromosikan nilai-nilai positif yang dapat kita ambil dari pendidikan itu
sendiri. Aku yakin, tidak ada seorang pun yang ingin dan bertahan tinggal di
kota ini, hidup, tanpa adanya pendidikan---yang notabene bisa lebih memberikan
mereka jaminan. Maka dari itu, marilah kita kembali mengukuhkan dan meneguhkan
tekad dan motivasi kita, demi kemajuan kota Intan ini, Garut, untuk ke
depannya.
Do a good deed, meet a need /
lakukanlah pekerjaan dengan baik, dan sesuai dengan kebutuhan kita. Sekarang,
kita, membutuhkan banyak sekali orang yang mau melakukan pembangunan ini dengan
cermat, dan telaten. Kita membutuhkan orang yang ikhlas dan tulus membawa kota ini
menjadi kota yang disegani, kota yang diakui keberadaannya, dan dihormati oleh
setiap komponen negeri ini. Oleh karena itu, aku berharap, semoga aparatur
pemerintahan yang ada sekarang, melakukan hal yang terbaik yang dapat mereka
lakukan.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Di era globalisasi seperti saat ini
kita dapat melihat dengan jelas berbagai persoalan yang menyangkut pembangunan
bangsa ini baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Masih banyak persoalan
pembangunan yang belum dapat kita selesaikan, mungkin kita akan bertanya
siapakah yang bertanggung jawab atas segala pembangunan tersebut atau mungkin
dalam hal ini siapakah yang salah dalam mengkonsep pembangunan di negara ini?
Dari sedikit persoalan yang kami kemukakan tersebut, kami mengaitkannya dengan
judul makalah yang telah ditetapkan oleh Dosen kami yaitu Pancasila sebagai
paradigma pembangunan.
Masalah yang paling dasar dalam
wacanan kita sekarang ini adalah mempertanyakan – dan menjawab – sudahkah
pancasila merupakan sebuah paradigma yang mampu menerangkan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia pada umumnya, dan kehidupan
sosial politik pada khususnya? Bukankah kritik yang paling sering kita dengar
adalah bahwa nilai-nilai yang dikandung pancasila itu baik, hanya terasa bahwa
sila-silanya bagaikan terlepas satu sama lain dan penerapannya dalam kenyataan
yang masih belum sesuai dengan kandungan normanya. Jika kritik itu benar,
bukankah hal itu berarti bahwa pancasila masih belum merupakan suatu paradigma,
atau jika sudah pernah menjadi paradigma, ia tidak mampu lagi menerangkan
kenyataan politik di Indonesia dewasa ini? Jika memang demikian halnya,
bukankah kewajiban kita bersama mengembangkannya sedemikian rupa sehingga mampu
menerangkan kompleksitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berneagara di
Indonesia ini?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
2.1.1. PENGERTIAN PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
Sejak tanggal 18 Agustus 1945,
bangsa Indonesia sepakat bulat untuk menerima Pancasila sebagai dasar dalam
berbagai sendi kehidupan. Inilah yang kemudian melandasi seluruh tingkah laku
dan perbuatan bangsa Indonesia, tidak terkecuali dalam proses pembangunan infra
dan suprastruktur bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai paradigma artinya
nilai-nilai dasar Pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan
tolak ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal
ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai pula
dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Karena
Negara adalah organisasi atau persekutuan hidup manusia, maka tidak berlebihan
apabila Pancasila menjadi landasan dan tolak ukur penyelenggaraan bernegara
termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila
dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila
adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis mempunyai
ciri-ciri, antara lain :
1. Terdiri
dari jiwa dan raga.
2. Sebagai
individu sekaligus sosial.
3. Sebagai
makhluk pribadi dan makhluk Tuhan.
Pembangunan nasional harus mampu
mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu,
pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan.
2.1.2. BAGAIMANA MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA ?
Kalaulah roma tidaklah dibangun
dalam satu hari, tentunya Indonesia juga tidak boleh berharap untuk membangun
kembali dalam waktu singkat. Satu hal yang akan menjadi penentu berhasil
tidaknya pembangunan adalah mengubah mindset akan kondisi yang ada dan
bagaimana membangun kedepan dalam kerangka hukum dan HAM.
Tulisan singkat ini dimaksudkan
untuk memberi pemahaman awal mengenai nilai-nilai mendasar yang ada dalam
Pancasila dalam kaitannya dengan pembangunan hukum dan HAM. Banyak sekali
contoh-contoh yang dapat dipaparkan disfungsi hukum dalam menegakkan HAM dewasa
ini, yang dapat dijadikan kasus yang dapat dipaparkan kepada mahasiswa untuk
diulas. Kemampuan para dosen untuk mengajak mahasiswa berpikir kritis dan
peduli pada kondisi sosial yang ada, merupakan kunci bagi keberhasilan
pemberian materi Pancasila pada mahasiswa melalui problem-based learning.
Mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi melihat masalah dan mencoba mencari
solusinya nampaknya sudah mulai perlu diperkenalkan untuk ke depan nantinya,
sehingga mahasiswa juga merasa memiliki kontribusi pada proses pembelajaran
yang tidak lagi monolog dan satu arah.
2.1.3. KEMBALI PADA PANCASILA
Apa jadinya negara ini jika
masyarakatnya sudah tidak memiliki pegangan nilai-nilai untuk berperilaku
seperti PANCASILA yang pada hari ini kita peringati sebagai Hari Kesaktiannya?
Mungkin gambaran masyarakat Indonesia sekarang yang penuh dengan kekerasan dan
masalah merupakan jawaban dari pertanyaan diatas.
Pancasila dan nilai-nilai luhurnya
tidak lagi sakti dan cenderung tidak diamalkan bahkan dilupakan setelah Orde
Baru. Buktinya apa? Saya percaya bahwa waktu Anda masih bersekolah dasar atau
menengah, Anda masih dapat mengucapkan dengan lengkap 5 sila PANCASILA dengan
benar, bahkan ada pula yang hafal 36 butir P4. Jika saya menyuruh Anda menyebutkan
sekarang, Apakah Anda bisa menyebutkan seperti dulu?
Ya, memang kesaktian Pancasila tidak
dilihat dari hafal atau tidaknya kita dengan menyebut 5 sila tersebut dengan
benar, namun bukankah untuk mengamalkan sesuatu hal, kita perlu mengenal dan
menghafalkannya terlebih dahulu sehingga dapat dijadikan pedoman dalam
bertingkah laku.
Sebelumnya kita lihat dari sisi
keadaan saat ini saja, bahwa saat ini Indonesia menderita karena ulah
orang-orangnya sendiri yang sedang bermain dalam banyak kepentingan tanpa
berpedoman pada nilai-nilai luhur PANCASILA.
Kenaikan BBM yang terjadi saat ini
telah memicu protes dari berbagai kalangan, setiap orang punya kepentingan di
dalamnya adalah suatu kewajaran. Namun, sayangnya saat ini masyarakat cenderung
tidak punya pegangan berperilaku dalam hidup berkenegaraan dan berkebangsaan.
Nasionalisme orang Indonesia sekarang adalah nasionalisme kepentingan, sejauh
itu adalah kepentingannya, maka orang akan rela bertaruh nyawa dan melakukan
segala cara baik yang melanggar norma maupun tidak agar kepentingannya itu
terpenuhi. Bahkan norma yang benar bisa jadi diputar balik menjadi norma yang
salah atas nama kelompok.
Berita dan artikel media massa serta
tuntutan dalam setiap demonstrasi protes tentang kenaikan BBM sudah banyak
memberikan informasi kepada kita tentang kerugian-kerugian jika harga BBM naik.
Baiklah kita sedikit melihat dari sisi pandang kepentingan-kepentingan yang
diuntungkan dalam permainan kepentingan di balik kenaikan BBM serta
kerusuhan-kerusuhan dekstruktif yang ditimbulkannya.
Kepentingan yang diuntungkan jika
BBM naik, yaitu :
1. Pemerintah,
sebagai penyelenggara negara pemerintah bertanggung jawab atas kelangsungan
negara termasuk dalam segi ekonomi yaitu mempertahankan devisa negara agar
kehidupan masyarakat dan rakyat terjamin. Subsidi BBM disinyalir oleh
pemerintah merupakan subsidi yang tidak tepat sasaran karena orang-orang kaya
turut menikmati subsidi tersebut.
2. Rakyat
kecil yang miskin, yang pendapatan per bulan kurang dari 100 ribu rupiah, dan
tidak memiliki kendaraan. Golongan ini akan mendapatkan keuntungan dengan
pengalihan subsidi tersebut karena mereka mendapatkan tambahan uang
penghasilan, mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah, dan anak-anaknya
dapat bersekolah secara gratis. Pendidikan pada anak-anak ini sangat penting
karena anak-anak yang berpendidikan ini yang memiliki peluang untuk
meningkatkan pendapatan keluarga di masa datang.
Lalu yang kedua tentang kepentingan yang diuntungkan dengan
memanfaatkan kebijakan kenaikan BBM melalui demonstrasi yang cenderung
destruktif. Sebelumnya saya minta maaf jika berkesan mendiskreditkan pihak
tertentu, berikut ini hanyalah pola pandang dari sisi lain saja. Kepentingan
yang diuntungkan dengan maraknya demonstrasi protes dan kerusuhan yang diakibatkannya
:
1. Negara-negara
asing terutama yang menjadikan Indonesia sebagai target pasarnya memiliki
kepentingan juga dalam hal ini, mereka ingin masyarakat Indonesia tetap miskin
dan tidak produktif sehingga dapat menjadi konsumen yang ‘haus’ akan produk-produk
yang mereka pasarkan. Kerusuhan dan keributan dari tingkat elit politik sampai
pada tingkat rakyat akan membuat negara ini tidak bisa menjadi negara maju dan
semakin banyak berhutang pada Negara lain.
2. Elit
politik memiliki kepentingan yang sangat signifikan sebagai kesempatan yang
bagus untuk menjatuhkan pemerintah dan memperbesar dukungan rakyat demi
kekuasaan dan kepentingan kelompok politiknya.
3. Orang-orang
kaya tidak menyukai naiknya harga BBM karena itu berarti menambah biaya
operasional dari beberapa kendaraan yang mereka punyai, biasanya yang sangat
dirugikan adalah orang kaya yang memiliki banyak kendaraan bermotor.
4. Penimbun
dan penyelundup BBM yang menjual ke Singapore ataupun negara-negara lain tidak
menyukai naiknya harga BBM karena keuntungan mereka akan berkurang.
5. Para
kontraktor pembangunan, karena adanya kerusuhan akan menimbulkan banyak
kerusakan bangunan sehingga kontraktor dan pekerja-pekerjanya mendapatkan
proyek-proyek baru.
6. Produsen
kendaraan tidak senang dengan naiknya BBM, karena jelas akan meninggikan biaya
produksi kendaraan tersebut dan menurunkan daya beli masyarakat terhadap
produksi kendaraan mereka. Naiknya BBM membuat masyarakat harus berpikir ulang
untuk membeli kendaraan bermotor.
7. Para
penjual atribut dan kelengkapan demonstrasi serta logistiknya, contoh yang saya
dengar sendiri adalah produsen air minum kemasan. Ribuan karton minuman mereka
terjual habis untuk logistik pendemo dan juga polisi-polisi yang mengamankan
demo tersebut.
2.1.4. SUDAH BERUBAHKAH PARADIGMA
PEMBANGUNAN KITA ?
Sudah, pada pelatihan fasilitator
beberapa waktu lalu dibahas materi Paradigma Pembangunan tentang sejarah global
dan nasional terjadinya pergeseran paradigma. Yakni, dari paradigma pembangunan
ekonomi dan kesejahteraan sosial, menjadi pembangunan manusia sebagai ending-nya,
yang banyak diyakini sebagai paradigma kekinian dalam pemberdayaan masyarakat.
Sejak zaman kemerdekaan, orde lama,
orde baru dan baru pada era reformasi ini pemerintah dan rakyat kita baru
tersadar bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah pembangunan manusia? Apakah
konsep Tridaya P2KP sangat jauh berbeda dengan Trilogi Pembangunan ala orde
baru, atau hanya pada sistem pelaksanaannya saja yang berubah?”
Bukankah dalam bait terakhir syair
lagu Indonesia Raya karya WR. Supratman menulis, “Bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya…”. Jika dicermati, dalam syair tersebut kata “Jiwa” disebut lebih dulu
daripada kata “Badan”. Bahkan, dalam Pancasila --- sebagai pondasi negara kita
--- keTuhanan dan kemanusiaan menjadi point pertama dan kedua sebelum
persatuan, kerakyatan dan keadilan. Artinya, para “founding father”
cukup tahu atau bahkan sangat paham tentang pentingnya membangun manusia, yang
harus dilakukan dari dalam (ruh atau jiwa yang memang tidak terpisahkan dari
kesadaran transedental/ketuhanan dan kemanusiaan).
Dus, dengan mengubah tema
pembangunan menjadi membangun manusia dalam melakukan pemberdayaan masyarakat,
tidak secara otomatis mampu mengubah paradigma kita. Misalnya, dalam paradigma
pembangunan manusia kita harus menjadikan masyarakat sebagai subyek/pelaku
dalam pembangunan, namun kita sendiri lebih terbiasa memakai frasa “membangun
masyarakat”, yang di dalamnya masih menjadikan masyarakat sebagai obyek. Justru
terdengar agak asing ketika frasa tersebut diganti dengan “masyarakat
membangun” atau “masyarakat pembangunan”.
Kita juga harus memahami bahwa kita
“bekerja untuk masyarakat”, bukan untuk pemerintah juga bukan untuk KWM
(proyek). Kalimat “bekerja untuk masyarakat” memang tidak salah. Namun, sekali
lagi masih saja menjadikan masyarakat sebagai obyek, sekalipun menurut kita
terkesan lebih pas daripada memakai kalimat “bekerjasama dengan masyarakat”
atau “bekerja bersama masyarakat”. Bisa jadi semua hal diatas cuma kebetulan
atau masalah leksikal dan gramatikal bahasa semata. Namun, kebetulan yang
sering dan menjadi kebiasaan juga merupakan suatu budaya. Bahasa atau kebiasaan
leksikal dan gramatikal kita toh juga sangat dipengaruhi oleh paradigma kita.
Kalau kita mau lebih jujur,
serangkaian kegiatan pembangunan atau pemberdayaan yang saat ini kita lakukan
dengan mengusung tema pembangunan manusia memang masih sering mengandung
ambivalensi antara makna sosial etis kepada masyarakat atau politis
ekonomis bagi diri kita sendiri. Berbagai permasalahan seperti
keterlambatan biaya operasional atau saran penunjang kegiatan, pengurangan
nominal dana pelatihan, pengurangan kuantitas media, dan lain-lain, yang
membuat kita sering ambigu saat ada yang bertanya apa perbedaan antara “proyek”
dengan “program”, atau saat ada masyarakat yang bertanya apa perbedaan antara
“fasilitator” dengan “relawan”.
Dalam konteks ini saya sering
mengamini pendapat yang mengatakan bahwa kita sebenarnya belum benar-benar
sadar jika kita belum benar-benar berubah, atau mengutip istilah Freire,
perubahan paradigma kita masih pada tahap naif, belum pada tahap kritis, atau
setidaknya kita tidak lagi di tahap kesadaran magis.
2.2. PERANAN PANCASILA SEBAGAI
PARADIGMA PEMBANGUNAN DI BIDANG SOSIAL POLITIK, EKONOMI, HUKUM DAN HAM, SOSIAL
BUDAYA SERTA PERTAHANAN KEAMANAN
2.2.1. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA
PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG SOSIAL POLITIK
Pada dasarnya, konsep “Paradigma”
yang pertama kalinya dipopulerkan oleh Thomas Khun, berarti model berpikir
dalam ilmu pengetahuan. Paradigma besar manfaatnya, oleh karena konsep ini
mampu menyederhanakan dan menerangkan suatu kompleksitas fenomena menjadi
seperangkat konsep dasar yang utuh. Paradigma tidaklah statis, karena ia bisa
diubah jika paradigma yang ada tidak dapat lagi menerangkan kompleksitas
fenomena yang hendak diterangkannya itu.
Pancasila, yang sejak tahun 1945
telah dinyatakan sebagai dasar negara republik Indonesia, mungkin masih
memerlukan pengembangan dan pendalaman konseptual agar dapat menjadi sebuah
paradigma yang andal. Pengembangan dan pendalaman ini amat urgen, oleh karena
amat sukar membayangkan akan adanya sebuah Indonesia, yang dalam segala segi
amat majemuk, tanpa dikaitkan dengan pancasila.
Pembangunan bangsa dan negara
sebagai konteks pembangunan bidang sosial politik
Bagaimanapun, Republik Indonesia
memang adalah sebuah negara nasional baru, yang didirikan oleh sebuah bangsa
yang baru, yang baru bangkit pada awal abad 20, setelah pemerintah kolonial
Hindia belanda memberikan sekedar pendidikan kepada sejumlah kecil kaum muda
dalam rangka Ethische Politiek. Kelompok kecil kaum muda terpelajar
inilah yang pertama kali menyadari bahwa sekian ratus suku bangsa yang mendiami
rangkaian kepulauan “Hindia Belanda” ini sesungguhnya adalah suatu bangsa.
Mereka diikat oleh pengalaman sejarah yang sama. Dengan keyakinan itulah mereka
mendirikan berbagai organisasi, yang mulanya bersifat moderat, tetapi kemudian
menjadi semakin radikal. Dalam babak awal gerakan kaum muda ini bersifat
elistis, kemudian menjadi populis, dengan melibatkan massa rakyat. Dapat
dikatakan bahwa sejak awalnya, Republik Indonesia berdiri dan berfungsi menurut
pola top-down.
Sudah barang tentu, tidaklah mudah
bagi lapisan kecil kaum terpelajar Indonesia itu untuk secara rasional
menjangkau rakyat banyak, yang sebagian besar berpendidikan rendah, dan hidup
dalam keadaan pas-pasan. Mereka harus menjangkau rakyat melalui kekuatan
kharisma pribadi yang dimilikinya. Rakyat Indonesia, baik dahulu mapun
sekarang, lebih tertarik pada tokoh-tokoh daripada substansi ideologi atau
program politik yang ditawarkan tokoh-tokoh bersangkutan.
Susahnya, jangkauan kharisma pribadi
seorang dibatasi oleh lingkungan kultural asalnya, dan –seperti diingatkan Max
Weber – charisma tidaklah langgeng. Bila kharisma seseorang itu tidak
memberikan manfaat konkrit, khususnya dalam bidang ekonomi, pengaruh kharisma
akan segera merosot, bahkan lenyap.
Hal itu terlintas jelas dalam
pengalaman Ir. Soekarno sebagai Presiden. Walaupun kemampuan retoriknya
tidaklah berkurang sampai saat-saat terakhir, namun keadaan ekonomi yang tidak
pernah membaik dibawah pemerintahnya, ditambah dengan suasana ketidakpastian
suasana revolusioner yang dikobar-kobarkannya sebagai pemimpin besar revolusi,
ia jatuh pertengahan tahun 1966 oleh rangkaian demonstrasi pelajar dan
mahasiswa yang mengajukan tiga tuntutan.
Tiga tuntutan itu adalah : Turunkan
harga, bubarkan kabinet 100 menteri, dan bubarkan PKI.
Pengalaman yang sama terulang pada
Jendral Soeharto, yang pernah memiliki sebagai komandan serangan 1 maret 1949
ke Ibukota Yogyakarta yang sedang diduduki belanda. Dalam 15 tahun pertama ia
berhasil memperbaiki kondisi ekonomi, politik dan keamanan Indonesia ketaraf
yang belum pernah dicapai sebelumnya.
Ia bahkan telah berusaha menyumbangkan
pemikirannya mengenai penghayatan dan pengalaman pancasila, yang kemudian
disyahkan oleh Majelis Permusyawaratan Perwakilan. Namun dalam kurun 15 tahun
kedua pemerintahannya. Kekuasaan pemerintahan sedemikian terkonsentrasi dalam
tangannya diiringi oleh serangkaian kebijaksanaan ekonomi yang ternyata telah
menyebabkan kebangkrutan Indonesia. Dalam tahun 1998 ia dipaksa mengundurkan
diri, bukan saja oleh karena terjadinya serangkaian demokrasi mahasiswa, tetapi
juga karena sebagian menterinya tidak bersedia lagi untuk bertugas dibawah
kepemimpinannya.
Pengalaman yang sama terulang lagi
pada Presiden KH. Abdurrahman Wahid yang sedemikian yakinnya terhadap kharisma
yang memang dipunyai dikalangan warga NU, khususnya di provinsi Jawa Timur,
sehingga ia mengabaikan prinsip-prinsip kepemimpinan yang baik, termasuk dalam
bidang manajemen pemerintahan. Ia bukan saja menolak untuk memberikan
pertanggungjawaban kepada MPR, tetapi juga mengeluarkan dekrit membubarkan
Lembaga Tertinggi Negara itu, yang dinyatakan tidak sah oleh Makamah Agung RI,
sehingga MPR – kecuali fraksi PKB yang tidak mau hadir dalam sidang –
memutuskan memberhentikannya sebagai Presiden Republik Indonesia. ia merupakan
presiden pertama yang dihentikan oleh MPR.
Ditinjau dari segi kultur politik,
apakah “garis merah” dari ketiga presiden yang turun dengan cara yang tidak
lazim tersebut? Banyak pengamatan menggaris bawahi bahwa semua mereka berasal
dari dan sepenuhnya hidup dalam kultur politik jawa, yang baru merasa nyaman
kalau seluruh kekuasaan berada didalam tangannya, dan bahwa kekuasaan tidak
dapat dibagi, apalagi dibantah. Dengan perkataan lain, dari segi kultur
politik, ketiganya belum meng-Indonesia, karena mereka tidak sepenuhnya merasa
nyaman dengan suasana Bhineka Tunggal Ika. Sebagai perbandingan, Presiden B.J.
Habibie – yang secara kultural – bukan berorientasi jawa, dan merupakan
presiden pertama dalam alam reformasi – memberikan suatu suasana baru kepada
Indonesia, suasana yang lebih bebas, suasana yang lebih demokratis.
Dengan demikian, mungkin salah satu
jalur keluar dari kendala kultural ini adalah dengan meng-Indonesia-kan
pancasila itu, dalam arti penyusunan sistem kenegaraan serta sistem
pemerintahan yang lain didasarkan pada lima aksioma pancasila, juga nyaman
dengan kemajemukan Indonesia, baik dari segi agama, ras, etnik, maupun
golongan. Untuk ini, maka gagasan untuk mengadakan rangkaian amandemen terhadap
batang tubuh dan penjelasan undang-undang dasar 1945, bukan saja absah, tetapi
juga perlu.
2.2.2 PARADIGMA PEMBANGUNAN EKONOMI
Perkembangan ekonomi global menurut
paradigma baru dalam pengelolaan negara. Kesalahan selama ini adalah
sentralisasi pengelolaan sumber daya lokal yang seharusnya menjadi wewenang
pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Akibatnya, masyarakat lokal tidak
menikmati kekayaan alam daerahnya. Disinilah Indonesia Baru harus membuat
perubahan. Pembangunan harus diarahkan untuk menemukan daerah-daerah
pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa. Kemudian, pemerintah daerah diberikan
otonomi dan wewenang disentralisasi seoptimal mungkin untuk mengelolanya.
2.2.3. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA
PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
All human beings are boom free and equal in dignity and rights
They are endowed with reason and conscience and should act towards one another
in a spirit of brotherhood
(Article, 1, Universal Declaration of Human Rights)
Pada bulan agustus 2002, konstitusi
kita telah mengalami amandemen yang keempat. Proses amandemen atau perubahan
ini sendiri telah menunjukkan adanya suatu pergeseran dalam pemikiran mengenai
undang-undang dasar 1945, karena pada masa-masa sebelumnya, perubahan
konstitusi ini seakan dianggap tabu untuk dilakukan. Terlepas dari perbedaan
pendapat apakah yang dilakukan memang suatu perubahan belaka ataukah suatu
perubahan sutu menggantikan konstitusi, sangat nyata bahwa keempat amandemen
yang dilakukan sama sekali tidak berkehendak untuk menyentuh pembukaan
undang-undang dasar 1945. sebagai konsekuensi logis, maka esensi yang dimuat
dalam bagian tersebut masih tetap intact, termasuk mengenai Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara, sebagai ideologi bangsa, memang banyak sekali
mendapat sorotan dari para penulis dari berbagai disiplin ilmu, yang mencoba
mengkajinya dari perspektif masing-masing. Namun pada dasarnya semua menyadari
bahwa Pancasila memuat sejumlah nilai dasar yang tidak dapat dipisahkan dari
cita rakyat Indonesia, yang bahkan sebagian orang menilainya sebagai suatu
impian yang ingin dicapai rakyat Indonesia pada suatu saat kelak. Elemen-elemen
mendasar yang dicantumkan dalam pancasila memang bukanlah suatu yang dengan
sederhana dan segera dapat diwujudkan dalam penyelenggaraan kekuasaaan Negara,
karena memerlukan pemahaman dan komitmen yang sungguh-sungguh dari para pembuat
keputusan. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa rakyat banyak tidak dapat
menentukan jalannya negara, akan tetapi bahwasannya pembuat keputusan akan
mempunyai “the last say”, sungguh merupakan realita belaka, tanpa melebihkan
atau menguranginya.
Sulit diingkari bahwa salah satu hal
yang saat ini sedang menjadi salah satu isu yang paling ramai dibicarakan
masyarakat Indonesia adalah penegakan supremasi hukum yang berkeadilan dan
penegakan Hak Asasi Manusia. Betapa tidak, HAM merupakan seperangkat hak dasar
yang secara kodrati melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, sehingga pada
dasarnya semua kehidupan manusia tidak lepas dari nuansa HAM, sebagimana
dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi Universal tentang HAM yang mengawali tulisan
ini. Tidak mengherankan apabila dalam perumusan UUD 1945 oleh para pendiri
Negara Kesatuan Republik Indonesia juga telah diinkorporasikan materi yang
berkenaan dengan HAM. Dengan demikian HAM telah merupakan hak konstitusional
yang dijamin oleh hukum.
2.2.3.1. PANCASILA, HUKUM DAN HAM
Sebagai perangkat nilai yang menjadi
cita hukum (rechtsidee) masyarakat Indonesia sebagaimana dicetuskan awal
mualnya oleh founding fathers kita, Pancasila sering kali dijadikan scapegoat,
dengan menempatkannya sebagai “imbuhan” dalam berbagai konsep yang sebenarnya
tidak begitu jelas. Upaya semacam ini telah lama menderogasi makna Pancasila
sendiri, yang sebenarnya harus dijadikan landasan berpikir dalam menjalankan
peran masing-masing individu maupun kelompok dalam kehidupan masyarakat.
Dalam bidang hukum dan HAM, nilai
yang terkandung dalam kelima asas negara ini, menurut Hamid Attamini fungsi
konstitutif dan regulatif. Fungsi konstitutif yakni yang menentukan dasar suatu
tata hukum dan memberikan arti dan makna sebagai hukum. Sudah teramat jelas
bahwa dengan mengacu kepada fungsi ini, makna dalam setiap proses perumusan
ketentuan perundang-undangan, para perumus harus selalu menjadikan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila sebagai acuannya. Berkenaan dengan fungsi ini,
dapat dipinjam konsep dari Roseo Pound yang memberi kemungkinan bagi hukum
untuk berfungsi sebagai :
a. As
a tool of social engineering
b. As
a dispute resolution mechanism
c. As
a social control mechanism
Fungsi regulatif dirumuskan sebagai fungsi yang menentukan
apakah suatu hukum positif bersifat adil atau tidak adil.
Sebagai sarana untuk melakukan
rekayasa sosial, hukum sepantasnya mengacu pada tujuan utama yang ditentukan,
yang jika diterjemahkan melalui pembukaan UUD 1945 adalah “masyarakat yang
cerdas, adil dan makmur”. Merupakan konsekuensi logis apabila kemudian semua
ketentuan berundang-undangan harus dapat dikembalikan kepada tujuan tersebut.
Ketentuan perundang-undangan yang menyimpang darinya dengan demikian harus
dikategorikan sebagai null and void. Dari uraian singkat ini selayaknya
dapat dipahami bahwa ketentuan hukum pada dasarnya bukan hanya ditunjukkan bagi
subyek yang berupa rakyat suatu negara, akan tetapi juga mengikat para
penyelenggara kekuasaan negara, yang tercermin dari konsep Negara berdasar atas
Hukum dan bukan atas dasar kekuasaan.
Landasan yang diberikan dalam
nilai-nilai Pancasila untuk menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, dapat
diurai secara sederhana.
Nilai religius yang diamanatkan
dalam sila pertama, dapat dikatakan merupakan suatu keunikan dalam
penyelenggaraan negara Republik Indonesia dibandingkan dengan Negara-negara
barat misalnya, yang tentunya berangkat dari kondisi masyarakat Indonesia
sendiri. Dengan menepatkan diri sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa, ingin
disampaikan bahwa pada dasarnya manusia (termasuk manusia yang menyelenggarakan
kekuasaan) tidak akan berarti apapun dalam kehidupannya tanpa kekuasaan-Nya.
Kerangka pikir utama yang dapat ditarik dari sila ini dalam kaitannya dengan
hukum dan HAM adalah :
a. Negara
berkewajiban untuk menjamin hak dan kebebasan dasar setiap individu untuk
beragama secara bebas ;
b. Ketentuan
perundang-undangan harus selalu mengacu pada nilai-nilai keTuhan-an yang
universal ; dan
c. Semua
individu dalam negara memiliki hak yang asasi untuk memilih dan menjalankan
ibadahnya sesuai apa yang ia percayai.
Kondisi pada beberapa tahun terakhir
ini menunjukkan bahwa rendahnya toleransi pada perbedaan dan upaya untuk
mengunggulkan golongan sendiri (atas dasar apapun) telah membawa akibat negatif
yang luar biasa pada kehidupan masyarakat. Bhineka Tunggal Ika, et pluribus
unnum, yang ditera pada lambang negara seakan tidak memiliki makna simbolis
apapun lagi, kecuali slogan yang harus dihafalkan. Kesadaran yang amat tinggi
dari founding fathers NKRI akan pluralisme rakyat Indonesia, tidak
diikuti dengan upaya-upaya untuk mengkomunikasikannya kepada setiap insan
manusia Indonesia. justru kelompok-kelompok tertentu mengedepankan keunggulan
karakteristik kelompok mereka dibanding kelompok lain, yang pada gilirannya
dapat membuahkan berbagai konflik. Kesadaran akan makna persatuan menjadi
tercabik-cabik oleh fenomenon semacam itu.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan, merupakan asas yang
menghasilkan seperangkat nilai yang menjadi landasan kehidupan sebagai warga
Negara dalam pemerintah, yang dirumuskan dalam “hak untuk turut serta dalam
pemerintahan”.
Pada dasarnya, asas ini mengutamakan
partisipasi public yang merupakan salah satu unsure dalam kerangka Good
Governance. Implikasinya adalah bahwa dalam proses pengambilam keputusan,
public harus dilibatkan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Pada masa lalu telah
kita saksikan bahwa keputusan yang monolitik, yang semata-mata diputuskan oleh
“pusat” tanpa memperhitungkan suara publik (termasuk kebutuhan dan kondisi
lokal) sangat banyak menghasilkan kondisi yang tidak kondusif untuk rakyat
secara keseluruhan. Bahwasannya publik hanya menjadi obyek bukannya subyek
dalam pemerintahan begitu meluas terjadi, yang pada akhirnya menimbulkan
perasaan tidak diperlakukan secara adil, dengan dampak yang masih kita alami
sampai saat ini.
Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai refleksi dari elemen ini, pada awalnya diharapkan dapat menghasilkan
keputusan yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat. Akan tetapi dalam
kenyataannya ternyata harapan ini masih jauh dari ketercapaian. Proses
demokrasi yang kini tengah diupayakan untuk berjalan masih diwarnai oleh
berbagai miskonsepsi dan juga penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia mengandung elemen keadilan yang sebenarnya lebih dari sekedar
keadilan menurut hukum (legal justice). Sila terakhir ini membawa ke
depan sejumlah landasan pikir bagi semua komponen, yang menyangkut antara lain
:
a. Hak
atas pendidikan, pekerjaan, perumahan yang layak bagi setiap insan ;
b. Hak
atas keadilan hukum yang didasari pada asas persamaan dimuka hukum ;
c. Adanya
mekanisme hukum yang memastikan bahwa keadilan diberikan pada setiap insan.
Mudah dipahami, bahwa perumusan ketentuan mengenai HAM yang
kini ada kalam konstitusi merupakan hasil dari tuntutan civil society
yang makin menguat yang merefleksikan keinginan publik untuk berpartisipasi
dalam pembangunan dan penentuan kebijakan. Sejarah Indonesia yang baru saja
dialami, banyak menunjukkan adanya ketidakpedulian pada HAM, utamanya yang
dilakukan oleh pihak yang memiliki akses pada kekuasaan, dan kondisi harus
segera diperbaiki untuk masa depan Indonesia.
2.2.4. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA
Pancasila pada hakikatnya bersifat
humanistik karena memang Pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat
manusia. Hal ini tertuang dalam sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Oleh
karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan
martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.
Berdasarkan sila “Persatuan
Indonesia”, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan
terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah
Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
2.2.5. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN PERTAHANAN KEAMANAN
Salah satu tujuan bernegara
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya
oleh penyelenggara Negara, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem Pertahanan
dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).
Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
2.2.6. MEMBANGUN MANUSIA INDONESIA
SEUTUHNYA
2.2.6.1. MENURUT TEAM PENULIS (SATGAS) LABORATORIUM PANCASILA IKIP
MALANG
Bangsa Indonesia bertekad mewariskan
dan melestarikan negara berdasarkan Pancasila an UUD 1945 kepada generasi
penerus. Untuk mencapai tujuan ini maka pembinaan manusia sebagai subyek negara
adalah prasyarat (syarat mutlak). Berdasarkan motivasi ini pula negara kita di
dalam GBHN menetapkan bahwa hakikat pembangunan nasional ialah membangun
manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia seutuhnya ini sebagai subyek
yang dicita-citakan, diharapkan maupun menegakkan, mengembangkan, mewariskan,
dan melestarikan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ini berarti subyek
manusia Indonesia seutuhnya menentukan kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Subyek manusia Indonesia seutuhnya
mencerminkan pula watak dan kepribadian manusia Indonesia yang dicita-citakan.
Jadi, manusia seutuhnya sekaligus mencerminkan kepribadian, martabat dan
kualitas manusia Indonesia masa depan.
Selanjutnya, bagaimanakah gambaran
watak dan kepribadian manusia Indonesia seutuhnya itu?
Sebagai bangsa, negara kita
menetapkan sistem pendidikan nasional sebagai kelembagaan yang bertanggungjawab
untuk mewujudkan cita-cita membangun manusia seutuhnya. Karenanya hakikat
manusia Indonesia seutuhnya tercermin dalam rumusan tujuan pendidikan nasional
kita.
a. Rumusan
tujuan pendidikan nasional berdasarkan rumusan dalam GBHN :
“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan
terampil serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu
menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air, mempertebal semangat
kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu dikembangkan
iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri sendiri
serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif. Dengan demikian pendidikan
nasional akan mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun
dirinya sendiri serta semata-mata bertanggung jawab atas pemabngunan bangsa.”
b. “Rumusan
tujuan pendidikan nasional menurut UU RI No. 2/1989 tentang pendidikan
nasional, menetapkan antara lain dalam pasal 4 :
“Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian
yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.”
Jadi bangsa dan negara kita membangun
kepribadian manusia Indonesia seutuhnya sebagai perwujudan pribadi warga negara
yang mencerminkan pribadi warga negara yang mencerminkan penghayatan dan
pengamalan Pancasila. Bahkan mencerminkan kepribadian manusia Pancasila.
2.2.6.2. MENURUT DRS. SUNOTO
Untuk membangun manusia yang utuh
lebih dahulu harus kita fahami apa yang dimaksudkan dengan manusia utuh. Untuk
mengetahui apakah manusia utuh, kita harus memahami apa manusia itu. Dalam hal
ini kita akan dihadapkan kepada berbagai jawaban, dan yang kita pilih tentunya
yang sesuai dengan kepribadian Pancasila. Manusia adalah makhluk Tuhan yang
otonom terdiri atas jiwa dan raga dan mempunyai sifat baik sebagai individu
maupun sebagai makhluk sosial.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas
maka dalam hal membangun manusia seutuhnya, berarti membangun secara serasi
keseluruhan unsur-unsur manusia tersebut, tidak boleh berat sebelah.
Pembangunan jiwa harus serasi dengan pembangunan raga, pembangunan sifat
individunya harus serasi dengan sifat sosialnya dan pembangunan kemandiriannya
harus serasi dengan keterikatannya sebagai makhluk Tuhan.
Pembangunan jiwa mempunyai
problemnya sendiri, demikian pula pembangunan raga, pembangunan sifat individu
dan sosial dan pembangunan sifat mandiri serta sebagai makhluk Tuhan. Hal-hal
tersebut sudah siap di hadapan kita untuk kita tangani, untuk kita jawab dengan
sebaik-baiknya. Makin keras usaha kita untuk membangun manusia Indonesia yang
utuh berarti makin keras pula problem serta tantangan yang wajib kita jawab.
2.3. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI
PEMBANGUNAN
Mengisi kemerdekaan berarti
membangun bangsa dan membangun bangsa berarti memerangi kemiskinan yang menjadi
beban penderitaan rakyat sejak lama. Namun pembenahan ekonomi membutuhkan
stabilitas politik sebagi persyaratannya. Ini berarti bahwa keamanan harus
segera dipulihkan, untuk memberikan peluang bagi pembenahan ekonomi dan
mendorong pertumbuhan yang cepat. Pancasila mampu memberikan orientasi dalam
pembangunan, wawasan ke depan dengan konsep-konsep yang secara substansial
dieksplisitkan dari nilai-nilai dasar dari lima sila. Secara mendasar,
Pancasila dikaitkan dengan kodrat manusia dan martabat manusia.
Pancasila memiliki dimensi manusia
sebagai ciri khasnya. Orientasi inipun lebih lanjut dituangkan ke dalam
persepsi tentang pembangunan dengan menyatakan bahwa pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia demi
terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, material spiritual berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Demikian juga orientasi pada kodrat manusia tersebut
memberikan juga implikasi yang sangat penting dalam mempersepsikan Pancasila
sebagai sumber hukum positif. Pembedaan atau lebih tepat acuan hukum kodrat
yang mendasari hukum positif memberikan arahan yang sangat penting dalam
mengembangkan sistem hukum nasional. Dengan adanya kesadaran, dapat
menumbuhkembangkan berbagai refleksi yang berupa nilai-nilai intrinsik yang
dapat membentuk suatu legitimasi pembangunan yang baik khususnya pada bidang
perekonomian. Keberhasilan pada bidang perekonomian dapat memberikan keyakinan
dan kepercayaan pada diri sendiri. Dengan adanya kebijaksanaan yang lebih
mantap dapat menghasilkan tindakan yang jelas untuk menentukan langkah
berikutnya.
2.4.
TRILOGI PEMBANGUNAN
Pembangunan adalah usaha menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan
harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan
lahir dan batin secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung
pula kepada partisipasi aktif seluruh rakyat.
Peningkatan taraf hidup dan
kesejahteraan yang adil dan merata yang ingin diusahakan melalui pembangunan
itu hanya dapat tercapai jika ada peningkatan kemampuan ekonomi, yang harus
dihasilkan oleh usaha pembangunan itu sendiri.
Perlu untuk selalu diingat bahwa
pembangunan hanya dapat dilaksanakan dengan berhasil dalam stabilitas nasional
yang mantap. Makin mantap stabilitas nasional makin lancar usaha pembangunan ;
sebaliknya pembangunan yang berhasil akan lebih memantapkan lagi stabilitas
nasional.
Jika stabilitas nasional terganggu,
maka pembangunan tidak dapat dilaksanakan. Jika tidak dapat membangun, kita
tidak dapat memberikan pemerataan yang menuju kepada keadilan sosial yang
memadai. Jika pemerataan tidak adil dan keadilan tidak merata, ini akan dapat
menimbulkan keresahan dan gejolak sosial yang akan mengganggu stabilitas
nasional.
Karena itu pembangunan selalu
dilaksanakan dengan bertumpu pada trilogi pembangunan, yaitu :
1. Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.
Ketiga unsur trilogi pembangunan itu
adalah sama penting dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Pemerataan, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas adalah unsur-unsur yang saling kait-mengait. Karena itu
dalam pelaksanaan pembangunan harus senantiasa diusahakan keseimbangan yang
serasi antara ketiga unsur tersebut, agar saling memperkuat.
Meskipun trilogi pembangunan baru
diistilahkan pada pelaksanaan Repelita II namun pada hakikatnya telah menjadi
landasan dari setiap kebijaksanaan pelaksanaan pembangunan mulai Repelita I.
Urutan-urutan trilogi pembangunan
itu tidak selalu sama. Di masa yang lalu stabilitas nasional di tempatkan pada
kedudukan pertama, diikuti pertumbuhan ekonomi, baru kemudian pemerataan ; ini
sedikit banyak mencerminkan keadaan dan tahapan pembangunan pada waktu itu.
Sejak Pelita III telah disepakati
untuk menempatkan masalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya pada urutan
pertama, karena pada dasarnya seluruh usaha pembangunan memang dimaksudkan
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan
demikian, usaha memeratakan pembangunan dilaksanakan di seluruh wilayah tanah
air dan hasil-hasilnya harus dapat pula dinikmati oleh seluruh rakyat. Oleh
karenanya pemerintah menentukan kebijaksanaan melalui Delapan jalur Pemerataan.
Pertumbuhan ekonomi pada umumnya
digunakan sebagai tolak ukur mengenai seberapa besar kemajuan yang diperoleh di
bidang pembangunan ekonomi, yang menjadi sumber dana bagi pembangunan
bidang-bidang lainnya. Penekanan kata “cukup tinggi” dalam trilogi pembangunan
(untuk pertumbuhan ekonomi) dimaksudkan :
a. Agar
lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk sehingga hasil yang diperoleh tidak
sekedar habis memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga memberikan peningkatan
kemajuan ;
b. Agar
tetap memperhatikan pemerataan dan hasil-hasilnya, karena usaha mendorong
pertumbuhan ekonomi semata-mata dapat mengabaikan aspek pemerataan ;
c. Agar
tetap memperhatikan pembangunan bidang-bidang yang lain, karena usaha mendorong
pertumbuhan ekonomi apabila tidak atau kurang diwaspadai akan memberikan dampak
negatif bagi pembangunan bidang lainnya.
Stabilitas nasional adalah suatu
kondisi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang mantap, aman,
tentram, dan tertib. Sehat dimaksudkan bahwa kondisi tersebut di atas tercipta
atas dasar berlakunya aturan yang telah disepakati secara nasional, tidak
bersifat semu, bukan karena tekanan, tetapi timbul secara wajar dari kesadaran
yang mendalam sehingga justru mendorong dinamika masyarakat. Dinamika
dimaksudkan bahwa dalam kondisi tersebut dimungkinkan berkembang kreativitas
dan otoaktivitas masyarakat.
BAB III
P E N U T U P
3.1. KESIMPULAN
1. Kata
paradigma mengandung arti model, pola / watak. Pancasila sebagai pembangunan
mengandung maksud bahwa pelaksanaan pembangunan di Indonesia harus berdasarkan
kepribadian Indonesia dan menghasilkan manusia dan masyarakat maju yang tetap
berkepribadian Indonesia yang dijiwai dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur
Pancasila.
2. Agar
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan paradigma Pancasila, maka penyelenggara
dan pelaksana pembangunan harus bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme) serta bertanggung jawab penuh terhadap masyarakat, bangsa, dan
negara.
3. Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Politik
Bahwa manusia Indonesia selaku warga negara harus
ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekedar objek politik.
Karena Pancasila bertolak dari kodrat manusia, pembangunan politik harus dapat
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang
bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan
tertinggi ada pada rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai dengan
Pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus
dikembangkan atas asas kerakyatan (Sila IV Pancasila).
4. Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas
ketuhanan (Sila pertama Pancasila) dan kemanusiaan (Sila kedua Pancasila).
Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dan humanitas
akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan
manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan
menjadi system dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat
secara keseluruhan.
5. Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang
Pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia. Hal ini tertuang
dalam sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Oleh karena itu, pembangunan
sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu
menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.
Berdasarkan sila “Persatuan Indonesia”, pembangunan sosial
budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan
budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya
rasa persatuan sebagai bangsa.
6. Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung
makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara Negara,
tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Sistem pembangunan pertahanan
dan keamanan Indonesia disebut sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta
(Sishankamrata).
Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan
telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara.
7. Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Hukum dan HAM
Untuk memberi pemahaman awal mengenai nilai-nilai mendasar
yang ada dalam Pancasila dalam kaitannya dengan pembangunan hukum dan HAM.
Banyak sekali contoh-contoh yang dapat dipaparkan disfungsi hukum dalam
menegakkan HAM dewasa ini, yang dapat dijadikan kasus yang dapat dipaparkan
kepada mahasiswa untuk diulas. Kemampuan para dosen untuk mengajak mahasiswa
berpikir kritis dan peduli pada kondisi sosial yang ada, merupakan kunci bagi
keberhasilan pemberian materi Pancasila pada mahasiswa melalui problem-based
learning. Mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi melihat masalah dan
mencoba mencari solusinya nampaknya sudah mulai perlu diperkenalkan untuk ke
depan nantinya, sehingga mahasiswa juga merasa memiliki kontribusi pada proses
pembelajaran yang tidak lagi monolog dan satu arah.
3.2. SARAN
Kita dapat meelaksanakan perubahan
yang direncanakan guna mewujudkan cita-cita kehidupan masyarakat menuju hari
esok yang lebih baik (secara kualitatif maupun kuantitatif). Seperti halnya,
ilmu pengetahuan laksana ‘Pedang bermata dua’, ia dapat dimanfaatkan untuk
kemajuan peradaban sekaligus dapat pula digunakan untuk merusak. Paradigma
pembangunan Indonesia yang berlandaskan Pancasila mendorong pembangunan iptek
yang bermanfaat bagi kemajuan peradaban manusia.
Karena yang ingin kita bangun adalah
manusia dan masyarakat Indonesia, maka paradigma pembangunan harus berdasarkan
kepribadian Indonesia dan menghasilkan manusia dan masyarakat maju yang tetap
berkepribadian Indonesia, yang dijiwai dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur
Pancasila.
LAMPIRAN
45
BUTIR PENGAMALAN PANCASILA
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa
1) Bangsa
Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
2) Manusia
Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
3) Mengembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerjasama anatar pemeluk agama dengan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4) Membina
kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
5) Agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut
hubungan pribadi manusia dengan tuhan Yang Maha Esa.
6) Mengembangkan
sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing.
7) Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain.
2. Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab
1) Mengakui
dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
2) Mengakui
persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.
3) Mengembangkan
sikap saling mencintai sesame manusia.
4) Mengembangkan
sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5) Mengembangkan
sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6) Menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7) Gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan.
8) Berani
membela kebenaran dan keadilan.
9) Bangsa
Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10) Mengembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Persatuan
Indonesia
1) Mampu
menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara
sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2) Sanggup
dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
3) Mengembangkan
rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
4) Mengembangkan
rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5) Memelihara
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
6) Mengembangkan
persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika.
7) Memajukan
pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
1) Sebagai
warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
2) Tidak
boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3) Mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4) Musyawarah
untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5) Menghormati
dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
6) Dengan
i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.
7) Di
dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
8) Musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9) Keputusan
yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran
dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10) Memberikan
kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan
permusyawaratan.
5. Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1) Mengembangkan
perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
2) Mengembangkan
sikap adil terhadap sesama.
3) Menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4) Menghormati
hak orang lain.
5) Suka
memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6) Tidak
menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang
lain.
7) Tidak
menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup
mewah.
8) Tidak
menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan
umum.
9) Suka
bekerja keras.
10) Suka
menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama.
11) Suka
melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, Drs.
MS. 1999. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan : Yogyakarta.
Paradigma.
----.2002. Kapita
Selekta Pendidikan Pancasila ( Untuk Mahasiswa ) : Jakarta. Dirjen
Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Wahyuningsih
dkk. --- . Acuan Pengayaan Kewarganegaraan SMA Kelas XI Semester 2 :
Surakarta. CV. Sindhunata.
Wihardjo,
Wiwiet, Drs. Dkk. --- . PAKAR ( Panduan Aktif Belajar ) Pendidikan
Kewarganegaraan Untuk SMP Kelas VIII Semester Genap : Klaten. Aviva.
Team Penulis
(Satgas) Laboratorium Pancasila IKIP Malang. 1989. Pendidikan Pancasila Di
Perguruan Tinggi : Malang. Laboratorium Pancasila IKIP Malang.
Sunoto, Drs.
1981. Mengenal Filsafat Pancasila II Pendidikan Melalui Sejarah Dan
Pelaksanaannya : Yogyakarta. PT. Haninda Offset.
Harkrisnowo,
Harkristuti. 2002. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang
Hukum Dan Hak Asasi Manusia : Jakarta. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas.
FS. Zuhry,
Pelaku P2KP KMW XIV P2KP-3 Maluku Utara ; Nina.
Budiyanto, Drs.
, MM. 2005. Kewarganegaraan SMA Kelas XI : Jakarta. Erlangga.
Darmodiharjo,
Darji, Prof. ,SH. 1982. Pancasila Suatu Orientasi Singkat : Jakarta.
Aries Lima – Anggota IKAPI.
Rahardjo, M.
Dawam. 1984. Ekonomi Pancasila Edisi I : Yogyakarta. BPFE Yogyakarta
Anggota IKAPI No – 003.
Sariyono, Drs.
--- . Diktat Pendidikan Pancasila : Ponorogo. Universitas Muhammadiyah
Ponorogo.
Bahar,
Saafroedin, Dr. 2002. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional
Bidang Sosial Politik : Jakarta. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Internet : www.google.com
, www.waroengopini.com
, www.koecing-poeny.com
, www.jawapos.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar